Penulis : Muhammad Rofiq, Lc., MA. (Mantan Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Mesir)
1. سَمِعْت أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ )رواه مسلم(
“Aku mendengar Ummu Salamah istri nabi Saw. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa yang memiliki sembelihan yang akan dia sembelih, maka apabila hilal Dzulhijjah telah muncul, hendaklah ia tidak mengambil dari rambutnya dan kuku-kukunya sedikitpun sampai ia berkorban”” (HR Muslim)
2. عن أُمِّ سَلَمَةَ تَرْفَعُهُ قَالَ: إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ وَعِنْدَهُ أُضْحِيَّةٌ يُرِيدُ أَنْ يُضَحِّىَ فَلاَ يَأْخُذَنَّ شَعْرًا وَلاَ يَقْلِمَنَّ ظُفُرًا (رواه مسلم(
“Dari Ummu Salamah yang (sanadnya) ia sambungkan (ke Rasulullah). Beliau bersabda: “Apabila 10 (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang memiliki hewan kurban yang akan ia sembelih, maka hendaklah ia tidak mengambil rambut dan tidak memotong kuku”” (HR Muslim)
3. عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: إِذَا دَخَلَتِ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُ كُمْأَ نْيُضَحِّىَ فَلاَ يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا (رواه مسلم(
“Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi Saw. berkata: “Apabila telah masuk sepuluh hari (Dzulhijjah) dan salah seorang di antara kalian hendak berkurban, hendaklah ia tidak menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun” (HR Muslim)
Keterangan:
1. Setidaknya ada tiga jenis matan (redaksi hadis) yang menyebutkan larangan memotong, ketiganya dari jalur istri nabi Ummu Salamah dan ketiganya memiliki perbedaan redaksional satu sama lain. Ada yang menggunakan redaksi “rambut dan kuku”, ada yang “rambut dan kulit”, ada yang “hendaklah tidak menyentuh” dan ada pula yang “hendaklah tidak mengambil”.
2. Ketiga hadis di atas adalah hadis-hadis yang tidak diragukan lagi otentisitas (kesahihan) nya, karena diriwayatkan oleh imam Muslim dan imam-imam lainnya. Namun karena memiliki perbedaan redaksional, tetap terdapat kemungkinan terjadinya periwayatan bil makna (melibatkan interpretasi personal dari perawi).
3. Tidak ada yang eksplisit dari ketiga hadis tersebut mengenai apa yang dilarang untuk dipotong. Sehingga di kalangan ulama (khususnya ulama kontemporer) ada yang memaknai bahwa yang dilarang untuk dipotong adalah kuku dan kulit hewan kurban, bukan sahibul kurban.
4. Bagi yang memaknai larangan adalah untuk memotong kuku dan kulit hewan kurban argumentasinya adalah :
- Hadis dari Aisyah bahwa beliau menganyamkan kalung untuk kurban Rasulullah Saw. dan setelah itu tidak menjauhi apa yang dihalalkan oleh Allah selama 10 hari awal bulan Dzulhijjah (HR Nasai).
Islam menganjurkan menjaga kebersihan. Jika kuku dan rambut manusia sudah saatnya dibersihkan, maka tidak harus ditunda sampai 10 hari.
- Psikologi hewani. Ia perlu dimuliakan sebelum disembelih.
5. Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut sohibul kurban, argumentasinya adalah:
- Ini domain ta’abbudi (ibadah mahdhah), yang harus diikuti secara for granted (apa adanya). Melaksanakannya adalah suatu bentuk ketundukan terhadap perintah agama.
- Barangkali syariat ini akan sulit dicerna pikiran, tetapi dapat ditarik hikmah di baliknya, yaitu: membiarkan bagian tubuh manusia utuh sebelum hari penyembelihan, sehingga bagian tubuh manusia akan dibebaskan secara ututh pula dari api neraka kelak di hari akhir (pendapat yang dikutip imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim).
- Mengamalkan hadis lebih utama daripada mengabaikannya (i‘malul hadis awla min ihmalihi).
6. Bagi yang memaknai larangan memotong kuku dan rambut sahibul kurban, juga tidak sampai membawanya kepada tahap haram. Paling jauh hanyalah makruh. Sehingga, insya Allah, tidak akan mengurangi keutamaan dan pahala dari kurban yang ia lakukan. Insya Allah tidak berdosa (apalagi karena alasan kebersihan atau ketidaktahuan) tetap memotong kuku dan rambutnya sendiri.
Wallahu a’lam.
Editor Anshar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar