Sabtu, 19 Juli 2014

Kebaikan Kecil Berbuah Manis

Saya sendiri meyakini bahwa setiap perbuatan kita akan mendapatkan balasan. beberapa memang tak dibalas secara langsung. Tapi dalam waktu yang panjang.

Perbuatan baik dibalas dengan balasan baik
Perbuatan jahat dibalas dengan balasan yang buruk

Seperti kisah yang pernah sering kita dengar misalnya.
Kisah Segelas Air Susu
Dimana sebuah perbuatan baik yang bahkan teramat sangat kecil dan sederhana, dibalas dengan baik melebihi kesederhanaan itu sen diri.

Cerpen Denting Kisah Senja Hari

Aku bosan.
Capek.
Lelah.
Ingin Muntah!

Dan segala rasa itu yang membuatku akhirnya kabur dari rumah. Cuma membawa jaket dan motorku.  Aku bahkan menepis tangan Mbok Yati, wanita separo baya yang telah mengabdikan dirinya kepada kami, orang serumah. Yang kasihnya lebih banyak kurasakan daripada belaian tangan mamaku sendiri. Atau tatapan hangat yang tak pernah dari mata lelaki yang kusebut Papa. Bagiku … mereka berdua orang-orang yang tak punya hati. Atau mungkin punya, tetapi telah mati!? Dan omongan mereka? Kuanggap sebagai omongan orang mati yang tak punya nilai. Tak tahukah mereka orang mati itu tak bicara? Jadi…aku pergi, dengan mulut terkunci. Karena, kecuali Mbok Yati, tidak ada orang dirumah yang cukup pantas kupamiti. 

Sepanjang jalan kularikan motor dengan kecepatan tinggi. Rambut bahuku berkibar ditiup angin. Aku terus memacu kendaraanku. Bagai tak punya titik henti. Membawa hatiku yang setengahnya telah ikut mati. Lampu-lampu jalanan yang indah, angin malam yang bertiup, hawa dingin yang kurasakan, pemandangan Jakarta di waktu malam sama sekali tak mengusik nuansa keindahan di hatiku. Rasa marah yang sangat, membuatku menggila. Kularikan motor lebih kencang. 

Cerpen Allah Masih Sayang

Allah Masih Sayang
Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya. Aku memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan. Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga Allah?

Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakkan kaki.

“Zakia lapar, Umi. Lapaar.. mana nasinya?” 
Sementara Yamin yang masih tiga tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas

“Umi, mo mamam, Umi.” 
Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah.. teringat aku kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin.

Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah. Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter. Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan seulas senyum kepasrahan.