Sabtu, 19 Juli 2014

Cerpen Allah Masih Sayang

Allah Masih Sayang
Hujan kian deras mengguyur bumi. Sesekali aku harus memeluk Dafa yang masih bayi ketika suara guruh menggedor-gedor pintu langit dengan kerasnya. Aku memandang sayu ke arah anak-anakku yang tertidur di atas tikar pandan. Duhai.. alangkah indah dan sucinya wajah mereka. Kutatapi wajah mereka satu persatu dengan nikmatnya. Demikiankah wajah bidadari kecil dari syurga Allah?

Sejenak aku terlupa betapa seperempat jam yang lalu ketiga bidadariku itu menangis karena lapar yang tidak tertahankan. Zakia yang paling besar menangis dengan keras sekali sambil menghentak-hentakkan kaki.

“Zakia lapar, Umi. Lapaar.. mana nasinya?” 
Sementara Yamin yang masih tiga tahun hanya bisa merengek-rengek panjang dengan kosa kata yang terbatas

“Umi, mo mamam, Umi.” 
Kutatapi segenggam beras yang masih tersisa. Subhanallah.. teringat aku kepada Mas Darman, Abinya anak-anak. Tadi pagi ia berangkat tanpa sarapan apapun kecuali segelas air sumur yang kumasak dengan kayu api. Bagaimana kalau hari ini Abi tidak berhasil membawa seliter beraspun seperti kemarin.

Abi cuma kuli upahan yang membawa cangkul ke mana-mana. Syukur sekali jika ada truk yang menawarkan kerjaan menurunkan pasir atau mengisi tanah merah. Dari kerja ikut truk biasanya Abi bisa dapat uang delapan ribu rupiah. Alhamdulillah cukup untuk beli beras dua tiga liter. Kemarin Abi juga hanya sarapan segelas air sumur. Kuselipkan di saku celananya yang lusuh uang seribu rupiah. Malam harinya Abi pulang dengan seulas senyum kepasrahan.


“Dapat kerjaan tadi, Bi?”
“Alhamdulillah, belum, Mi.”
“Tadi siang sempat makan, nggak?”
“Umi kan ngasih uang seribu rupiah. Abi belikan roti tujuh ratus rupiah. Nih sisanya masih tiga ratus.”
“Memang masih ada roti harga tujuh ratus?”
“Ada, tapi kayaknya harga aslinya seribuan deh. Mungkin Mas Budi ngasih diskon ke Abi.”.

Abi tersenyum manis kepadaku sambil menyerahkan sisa uang tiga ratus ke tanganku. Laa hawla walaa quwwata illa billaah. Berarti hari ini Abi cuma makan sepotong roti tujuh ratusan. Dan itu juga berarti besok tidak bisa beli beras. Kuamati sisa beras yang cuma tinggal dua genggam lagi dan tiga keping uang logam seratusan di telapak tanganku yang diam membisu. Pagi itu aku tidak tega membiarkan Abi memanggul cangkulnya dengan perut berisi air sumur. Kutanak beras segenggam dengan air yang agak banjir dan kucampur dengan beberapa sendok tepung gandum. Rasanya? Aduh..jangan tanya deh. Yang penting ada kalori yang mengisi badan suamiku. Kasihan.. sudah dua hari perutnya tidak diisi apa-apa.

“Umi, biar saja nasi itu buat anak-anak kita.” Kata suamiku.
Aku tersenyum manis kepadanya dengan meredam seluruh kesedihan dan kecemasanku di hari itu.

“Nggak, yang ini untuk Abi. Nanti buat anak-anak Umi siapkan pisang rebus”. 
Dalam hati aku bergumam, pisang rebus dari mana? Pisang mentah yang dibawah Mas Darman kemarin sudah habis dimakan anak-anak. Namun setidaknya bujukanku berhasil. Mas Darman mau memakan sarapan nasi campur tepung gandum itu.

Pagi itu aku tidak memberikan sarapan kepada anak. Kurebus saja air campur sedikit gula jawa yang masih tersisa. Kuberikan semuanya kepada mereka. Aku cuma membasahi tenggorokan dengan seteguk air. Tetapi jam sepuluh pagi anak-anakku yang sedang dalam masa pertumbuhan itu mulai merengek-rengek minta makan. Mereka bahkan secara dramatis menguji kesabaranku dengan menunjuk-nunjuk tukang bubur dan ketupat tahu yang lewat di depan rumah petak kami. Padahal tidak pernah sekalipun aku menyuapi mereka dengan makanan semewah itu. Ya Allah .. mungkin rasa lapar yang mendesak mereka bersikap secara natural seperti itu.

Kubujuk mereka dengan kepandaianku bercerita. Mereka suka mendengar ceritaku sehingga tersenyum-senyum gembira. Untuk beberapa saat rasa lapar dapat kami lupakan.. Namun setelah sholat Zuhur mereka kembali menyuarakan pesan yang dihembuskan dari lambung-lambung yang kosong. Kutatap segenggam beras terakhir yang menjadi tapal batas pertahanan terakhirku. Kumasak segenggam beras menjadi bubur yang sangat cair. Kububuhkan sedikit garam ke dalamnya Anak-anakku makan dengan lahap sekali. Nafas mereka mendengus-dengus saking lahapnya. Sayang mereka harus menggigit jari saat meminta tambahan. Bubur itu sudah habis. Kubawa panci itu kebelakang dan kusapu sisa bubur itu dengan jari-jariku. Kemudian akupun kembali mengisi kekosongan perut dengan air sumur yang dingin. Anak-anakku tertidur pulas. Melihat wajah mereka saat tidur merupakan salah satu hiburan yang mewah bagi jiwaku yang sedang kalut dan cemas. Mudah-mudahan Mas Darman cepat pulang dan membawa sedikit beras untuk makanan mereka.

***

Awal menikah dengan Mas Darman yang sekarang menjadi ayah anak-anakku, masalah ini tidak pernah terjadi. Dulu semua orang termasuk diriku sendiri heran bin ajaib, mengapa anak seorang tentara seperti aku kok jatuh cinta dengan Darman yang cuma tukang bakso. Dilihat dari tampang memang tidak ada seorangpun yang dapat menafikan kegantengannya. Tapi suer ..aku naksir dia bukan karena kegantengannya.

“Melangkah ke jenjang rumah tangga itu tidak cukup hanya dengan berbekal cinta.” 
Papa menegurku dengan bahasa yang klise.

“Pokoknya Mama cuma mau kamu nikah sama Gunawan yang calon dokter itu. Lain orang Mama tidak setuju”.  
Mama menyebut-nyebut lagi nama Mas Gunawan. Padahal semua orang tahu dia sudah punya pacar. Apa belum ada yang bilang ke Mama. Berhari-hari mereka membujukku dengan berbagai cara. Akhirnya mereka meminta kak Mita, kakakku yang sudah menikah untuk membujukku. Hmm.. Kak Mita sangat sayang padaku dan pasti akan senantiasa membelaku. Kesempatan itu justru akan kugunakan untuk balik membujuk kak Mita.

“Yuli sayang..bagaimana sih ceritanya kok kamu bisa kecantol sama Mas Darman?”
“Hmm..Tepatnya aku sendiri tidak tahu, kak. Tapi aku merasa terpesona dengan keindahan suaranya ketika mengumandangkan azan Subuh. Tentang ini Papa juga setuju lho sama aku”.

“Terus..”
“Suatu hari aku memberhentikan gerobak baksonya. Aku beli semangkok bakso sambil mengucapkan terima kasih karena telah membangunkanku setiap Subuh.”

“Terus..”
“Dia cuma menjawab, Ya sambil terus menundukkan pandangan. Semua pertanyaanku dijawabnya singkat tanpa berani menatap mataku. Melihat sikapnya yang sopan itu hatiku jadi berbunga-bunga. Kayaknya di situlah hatiku mulai tersangkut, kak Mitaku sayang.”

“Terus..”
“Ya..sejak hari itu akupun bergerilya untuk menawan hatinya. Alhamdulillah, dia akhirnya mengirim sepucuk surat kepadaku.”

“Tapi Ya Allah, Yuli..dia kan cuma tukang bakso. Gerobak aja masih belum punya sendiri. Asal-usulnya dari Brebes juga nggak jelas.” 
Kak Mita berdiri menghindari pelukanku. Panas juga kupingku mendengar kak Mita merendahkan Mas Darman. Nampaknya usahaku untuk menjadikan Kak Mita pendukung cintaku tidak berhasil.

“Dia bukan cuma tukang bakso, kak. Dia tukang bakso yang soleh.”
“Adikku yang manis .. dengar sini baik-baik, ya. Pikirkan dulu dong masak-masak. Kamu yakin si Darman itu bisa membahagiakan kamu dan mencukupi keperluan kamu?”
“Kalau membahagiakan Yes, aku yakin. Tapi kalau mencukupi keperluan, bukankah keperluan kita selama ini Allah yang memberi, kak?”
“Yuli, menjalani kehidupan rumah tangga itu sangat sulit. Tidak bisa kita terus hidup hanya dengan setumpuk cinta di dada. Emangnya makanan pokok kamu cinta, apa?”
“Cinta memang tidak bisa dimakan, kak. Yang bisa dimakan itu nasi. Tapi makan nasi di depan orang yang tidak kita cintai juga pasti tidak enak kan kak.”

Kak Mita benar-benar tidak mengerti lagi bagaimana menghadapiku. Dia bilang sejak aku sering liqo’ pemikiranku jadi aneh dan tidak karuan. Aku bilang justru sekarang aku merasa bahagia karena akibat liqo’ kini aku bersikap, berpikir dan bertindak hanya menurut kehendak Allah saja. Keluargaku menyadari kekerasan hatiku dalam masalah pilihan hidup. Mereka merasa tidak akan pernah bisa mengalahkanku. Papa takut juga ketika kuancam bahwa dosa cinta kami akan Papa tanggung jika kami dihalangi menikah. Padahal, aku cuma nakut-nakuti doang. Tapi ‘gerilyaku’ berikut ancaman itu membuahkan hasil. Papa akhirnya setuju untuk menerima kedatangan keluarga Mas Darman ke rumah kami. Mas Darman memberanikan diri ke rumah ditemani Ibunya yang baru datang dari kampung. Papa hanya menahan nafas melihat buah tangan yang dibawa keluarga Mas Darman; sekarung bawang merah dari Brebes. Sementara Mama tidak memperlihatkan mukanya sampai Mas Darman dan ibunya pulang.

Dua bulan kemudian kami pun resmi menikah. Pernikahan kami berlangsung secara sederhana sekali. Mas Darman cuma bisa ngasih satu setengah juta rupiah. Maka setelah Ijab Kabul, kami cuma mengadakan doa selamat dengan mengundang tetangga dan keluarga terdekat saja. Seusai acara Papa mengajakku berbicara empat mata.

“Yuli, sekarang kamu telah menetapkan kehidupan kamu sendiri. Berbaktilah kepada suamimu dengan sepenuh hati. Tanggung jawab menafkahimu kini beralih kepada suamimu. Papa tidak boleh terlalu mencampuri urusan keluargamu. Tapi nak, ini ada uang tiga puluh juta. Memang dari dulu Papa sengaja nabung untuk keperluan kamu setelah menikah. Gunakanlah uang ini sebaik-baiknya.”
Aku terharu menyadari betapa sayangnya Papa padaku. Aku menerima uang itu dengan tangan bergetar. Uang dari papa itu kami gunakan untuk membeli sebuah rumah petak kecil di kawasan perkampungan. Sisanya dipakai Mas Darman untuk modal jualan bakso.

Berkat ketekunannya usaha Bakso Mas Darman cukup maju. Mulai dari berjualan bakso dengan gerobak dorong Mas Darman menapak selangkah demi selangkah sampai akhirnya mampu menyewa sebuah tempat untuk warung bakso. Kami menamakannya warung bakso ‘Tawakal’, sesuai dengan prinsip hidup Mas Darman.

Pelanggan warung bakso Tawakal bertambah hari demi hari. Disamping bakso Tawakal enak dan ngegres, Mas Darman juga sangat ramah kepada pelanggan. Ketika usaha bakso itulah kami dianugerahi Allah tiga orang anak-anak yang lucu. Rasanya sempurna sudah kebahagiaan yang kurasakan bersama Mas Darman.
Namun benar kata Nabi Muhammad saw; jika Allah sayang kepada seseorang maka Dia akan mengujinya. Ujian yang kami terima di tengah sepoi angin kebahagiaan itu tidak tanggung-tanggung. Warung Bakso Tawakal dituduh telah mencampuri baksonya dengan daging tikus! Ya Allah .Ya Gusti. Alangkah jahatnya fitnah itu. Aku sendiri sempat membaca selebaran fitnah itu yang katanya juga disebarkan melalui milis internet. Di situ tertulis pengalaman seorang bekas pelanggan bakso Tawakal yang mengaku melihat sendiri kepala-kepala tikus saat kebetulan numpang pipis ke belakang. MasyaAllah! Keji betul fitnah itu. Mana mungkin Mas Darman yang setiap pagi azan Subuh di masjid mencampuri daging baksonya dengan daging tikus!

Dampak fitnah yang keji itu sungguh luar biasa. Warung Bakso Tawakal yang tadinya bisa menjual minimal tiga puluh mangkok sehari turun drastis. Untuk dapat lima mangkok sehari saja susahnya bukan main. Sampai akhirnya Mas Darman mengover kreditkan sewa warung ke orang lain. Usaha warung bakso kami resmi gulung tikar.

Seperti biasanya Mas Darman tetap senyum dan optimistis. Sisa uang yang ada dibelikan gerobak dan mulailah ia kembali mendorong baksonya keliling kampung.

Sayang ternyata citra buruk itu tidak hanya melekat ke warung bakso Tawakal yang sekarang sudah ‘almarhum’. Bagaikan bayang-bayang badan, fitnah itu tetap menyertai Mas Darman ke manapun ia pergi. Alih-alih mendapat untung, gerobak bakso yang didorong Mas Darman keliling kampung malah menjadikan mulut orang gatal. Fitnah itu kian kuat tersebar. Bahkan pernah ada seseorang yang dulunya penggemar Bakso Mas Darman meludah jijik di depan gerobak. Saat itulah hati Mas Darman benar-benar pedih. Hari itu juga ia memutuskan untuk berhenti jualan bakso dan menjual gerobak dorongnya ke orang lain. Mulailah kami menghitung hari dengan sisa uang yang ada. Keran pengeluaran kuperketat habis-habisan. Pengeluaran hanya untuk makan dan tidak ada pengeluaran untuk yang lain. Meskipun tetap mengumbar senyum manisnya kepadaku, Mas Darman sering juga tertekan memikirkan pekerjaan apa yang dapat dilakukannya untuk tetap menghidupkan dapur keluarga. Aku sering menemaninya berdiskusi tentang mata pencaharian baru.

“Pekerjaan yang Abi tahu dari dulu Cuma jualan bakso, Umi.”
“Abi kan bisa jualan lain, seperti gorengan misalnya, atau ketoprak?”, kataku.
“Umi benar. Tetapi untuk jualan makanan rasanya masyarakat sudah tidak bisa lagi mempercayai Abi. Biarlah Abi coba cara lain.”
“Cara lain seperti apa?”, tanyaku.
“Begini, dulu di Brebes Abi sering bantuin petani bawang merah di kebun. Jadi Abi cobalah membawa cangkul kita ini untuk mencari nafkah. Kebetulan di ujung jalan depan suka ada truk yang berhenti mencari kuli cangkul.”
“Kuli cangkul? Apa nggak ada pekerjaan lain, Abi?”

“Ya, buat saat ini rasanya hanya itu yang rasional. Persediaan beras kita juga sudah semakin tipis, kan?”
Ucapan Mas Darman bahwa sewaktu di Brebes dia biasa nyangkul, tidak sepenuhnya bisa kupercaya. Setahuku dia itu anak sekolahan yang drop out karena kekurangan biaya dan akhirnya memberanikan diri merantau ke Jakarta. Aku tidak yakin badannya tahan dipakai untuk nyangkul. Ternyata kecurigaanku benar. Sore harinya Mas Darman pulang dengan badan keletihan dan telapak tangan mengelupas. Aku hanya bisa menangis sambil memijiti tubuhnya dan melumuri tangannya yang melepuh dengan tumbukan daun keladi dicampur putih telur. Dalam kepedihan itu, Mas Darman masih mengajakku untuk beryukur kepada Allah. Memang Allah telah menebarkan dalam dirinya kekayaan hati. Justru ketabahan dan kepasrahan Mas Darman sering menjadikan tangisku berhenti.

***

“Umi, mana makannya. Zakia lapar.”. 
Suara Zakia tidak lagi sekeras tadi. Matanya yang kuyu memandangiku dengan setengah keyakinan. Justru adik-adiknya yang kini malah menangis tak henti-hentinya. Yamin kelaparan dan Dafa menangis karena tidak mendapatkan apa-apa pada puting susuku. Kugagahkan langkah menuju dapur. Tidak ada apa-apa lagi di sana kecuali beberapa sendok tepung gandum. Kutatapi gandum putih yang saat ini nilainya sama dengan nyawa anak-anakku. Ya Allah.. berat benar bahasa cinta-Mu kepada kami. Jadikanlah kami orang-orang yang memahami embun-embun cinta yang Kau nyatakan dalam bahasa lapar ini.

Sebenarnya tiga sendok gandum itu kusediakan untuk Mas Darman. Entah mengapa aku tidak yakin hari ini ia berhasil dapat kerjaan. Tapi keluhan anak-anakku benar-benar hampir memutuskan tali jantungku. Maka kurebuslah tiga sendok gandum itu dengan air sumur dan sedikit garam dapur. Hanya bubur gandum yang cair itu saja yang dapat kuhidangkan untuk mereka. Tanganku menyuapi mereka dengan setengah gemetar menahan lapar. Mulut mereka menerimanya dengan lemah dan mata yang kuyu. Belum sampai ke suapan terakhir ketiga-tiganya telah berbaring keletihan dan tertidur.

Kuseret langkah ke kamar mandi. Kubasahi wajah dengan air wudhuk. Aku tidak sabar untuk merintihkan semua luka ini kepada Yang Maha Pencipta. Akupun terbenam khusyuk dalam sujud-sujud yang panjang. Setelah salam, kuangkat tangan tinggi-tinggi dan kurintihkan sederet doa agar Allah segera meringankan kami sekeluarga dari penderitaan ini. Semoga doaku tidak terhalang oleh bunyi hujan yang masih turun dengan derasnya. Keletihan membuat badanku terkulai dan tertidur di atas sajadah.

***

Aku tersentak bangun. Rupanya hujan sudah lama berhenti. Kutatapi jarum jam tua yang hampir mendekati angka sebelas. Mengapa Mas Darman belum pulang juga? Hatiku bertambah risau dan cemas. Apa yang menimpanya hari ini? Oh.. ya Allah aku jadi sangat merinduinya. Detik-detik terasa kian menyiksa dalam menanti kepulangannya.

Alhamdulillah tidak berapa lama kemudian kudengar suaranya mengetuk pintu.
“Umi, Umi..buka pintu sayang.” Akupun bergegas membuka pintu. Mas Darman berdiri di pintu dengan senyuman yang manis. Hah.. Subhanallah ada bau masakan yang sangat menggoda perut laparku dalam bungkusan yang dibawanya.

“Nah Umi pasti belum makan, kan? Ayo sekalian bangunkan anak-anak. Ini Abi bawakan dua bungkus sate padang dan dua bungkus serabi manis. Pas seperti Manna dan Salwa hidangan Allah untuk mereka yang soleh.”

“Subhanallah, dari mana Abi dapat uang membelinya?”
“Makan dulu sayangku. Nanti Abi ceritakan. InsyaAllah yang ini Halalan Toyyiban.”
Maka anak-anakpun aku bangunkan. Mereka juga rindu dengan Abinya. Mas Darman memeluk mereka dalam canda yang ceria. Setiap pulang Mas Darman membawa kebahagiaan dalam hati anak-anak kami. Kami pun menikmati makanan itu dengan lahapnya. Aku bahagia sekali melihat mata anak-anakku berbinar-binar menikmati kue serabi yang manis. 

“Enak ya, Umi. Terima kasih ya Abi sudah belikan Zakia serabi.” 
Zakia berbicara dengan mulut penuh dengan makanan.

“Ya sayang. Zakia harus rajin berdoa ya agar Allah terus menerus memberi kita rezeki seperti ini.”.
“Baik Abi. Umi juga sudah ngajarin Zakia cara berdoanya.
Malam itu aku berbaring di atas lengan Mas Darman. Kucubiti perutnya supaya dia menceritakan kepadaku asal usul makanan itu. Sebab dari tadi dia cuma bilang dari Allah..dari Allah…

“Tentu saja semuanya dari Allah, Abi. Tapi tentu ada sebabnya?” kataku.

“Ya, ya..baik ndoro puteri. Begini ceritanya ..Dari pagi tadi Abi sudah setengah putus asa menunggu truk-truk pasir itu. Ada beberapa yang lewat tapi tidak mau mengambil Abi. Alasannya sekarang mereka sudah punya pekerja tetap di pool pasir. Akhirnya menjelang sore Abi bawa kaki melangkah ke mana saja ia ingin melangkah. Menjelang sholat Ashar Abi menyahut panggilan azan dari sebuah masjid dalam kompleks perumahan. Abi kenyangkan perut dengan air keran supaya jangan ingat makanan ketika sholat. Duh..segar benar rasanya. Kemudian Abi pun ikut sholat berjamaah. Setelah sholat ada seorang jamaah masjid yang bertanya.

“Mas bawa-bawa cangkul mau kemana?”
“Saya mau cari kerjaan, Pak. Apa saja.”
“Bisa membersihkan dan merapikan taman?”
“InsyaAllah bisa, Pak.”
Maka Abipun ikut bapak itu ke rumahnya untuk membersihkan taman. Menjelang Maghrib pekerjaan itu selesai. Bapak itu memberikan uang cukup banyak, Mi. Lima puluh ribu! Nah, sebelum pergi, Abi melihat bapak itu meringis memegangi punggungnya. Rupanya bapak itu mengalami sakit punggung. Abi tawarkan kepadanya untuk diurut.”

“Memangnya Abi bisa ngurut?” Aku menyela dengan sebuah pertanyaan.

“Ya itulah salah satu kemahiran Abi yang agak ajaib. Sebenarnya Abi tidak pernah belajar mengurut. Tapi Ibu bilang urutan Abi enak dan menyehatkan. Maka banyak juga dikampung orang yang minta diurut sama Abi. Nah, Umi rupanya urutan Abi juga mengena ke urat bapak ini. Dia merasa enak dan lega setelah diurut sama Abi. Umi tahu apa yang terjadi? Subhanallah, dia mengeluarkan lagi uang lima puluh ribu!”
Aku memandang mata Mas Darman dengan penuh haru. Kulihat ada secercah harapan pada bola matanya. Kami berdua berpelukan bahagia sambil terus menggumamkan pujian kepada Allah.

“Ya Allah betapa besar syukur kami kepadaMu. Engkau bawa kami ke puncak cobaan, agar dapat lebih mensyukuri sedikit rezki yang Engkau teteskan hari ini. Kami sangat memahami ya Allah, bahwa Engkau masih tetap sayang kepada kami.”

Semoga rintihan doa kami berdua dapat terus mi’raj menembus langit menuju pangkuan Ilahi, dan tidak lagi terbenam dalam deru hujan yang kembali turun dengan derasnya.

Sumber :  http://fadil.blogsome.com/2008/07/15/rembulan-di-mata-ibu

1 komentar: