Jumat, 29 April 2011

CINTAI PRODUK DALAM NEGERI UNTUK HADAPI PASAR GLOBAL / AFTA-CHINA

Setiap negara berkeinginan membuka diri terhadap arus lalu lintas barang dan jasa internasional, Dengan adanya perdagangan bebas tampaknya menjadi kebutuhan bagi negara-negara di dunia, ASEAN Forum Trade Agreement - China  merupakan bentuk skema dimana dapat melakuan perdagangan bebas dalam suatu area/wilayah, Skema mewujudkan AFTA -  China melalui: penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kuantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Oleh karena itu, hubungannya dengan AFTA bahwa Indonesia merupakan salah satu tujuan dari pasar itu sendiri. Sudah mafhum produk-produk China menawarkan dengan harga yang murah.
Salah satu ancaman produk kita adalah membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang masuk ke Indonesia dengan harga yang sangat murah. Tentu saja konsumen akan memilih produk-produk yang murah meskipun dengan kualitas yang sedang. Namun dalam jangka panjang justru akan mengancam produk dalam negeri.

Kita tau bahwa batik menjadi produk domestik yang ngetren saat ini. Namun seperti yang kita ketahui potensi pasar batik di Indonesia ini juga dilirik oleh China. Produk batik mereka pun menyerbu pasar batik kita. Hal ini terjadi mulai tahun 2008, tahun di mana kita belum terikat perjanjian AFTA plus China. Lalu bagaimana nasib batik domestik kita sekarang ? Ketika produk China bisa dengan mudahnya membanjiri pasar kita dengan harga yang jauh lebih murah dari produk domestik ?
Pasar Klewer yang menjadi tempat transaksi batik di Solo dan umumnya di Jawa, adalah tempat yang dapat dijadikan acuan untuk mengetahui bagaimana penetrasi batik China terhadap pasar batik saat ini dan bagaimana kesiapan pelaku bisnis batik domestic.
Untung nya...Pedagang dan pembatik di pasar Klewer cukup optimis bahwa mereka tetap bisa eksis karena konsumen yang berkunjung ke pasar Klewer biasanya adalah mereka yang cukup “fanatik” dengan batik Solo, baik bahan, motif dan coraknya. Kedekatan budaya inilah yang jadi sumber optimisme tersebut. “Orang menyukai batik Solo karena warnanya yang kalem, motifnya yang mencerminkan budaya kita, dan bahannya yang beragam, mulai dari sutera, katun, mori, dan sebagainya. Sementara batik China motifnya lain, warna yang digunakan juga cukup “nyeter” alias terang, dengan warna dominan hitam, merah dan kuning.
Mengenai apakah penjual akan menjual produk China atau tidak, mengingat harganya yang lebih murah, pedagang pasar Klewer mengungkapkan komitmennya bahwa mereka memprioritaskan akan menjual batik Solo dan batik Indonesia lainnya. “Kita kan sudah menjalin hubungan baik dengan para pembatiknya Pak.. ya sebisa mungkin kita lebih memilih menjual batik mereka. Jika kita memilih menjual batik China, berarti kita membunuh usaha kecil saudara kita sendiri.” Agak terharu mendengar komitmen pedagang tersebut, semoga ini ga cuma lip-service aja dan juga menjadi keyakinan semua pedagang batik di Indonesia.
Dalam hal ini pemerintah harus lebih memproteksi batik maupun produk domestik lain, mulai dari proses produksinya hingga distribusinya. Di skala produksi, pemerintah harus bisa menjaga kestabilan harga bahan baku batik. Pemerintah harus bisa menjamin ketersediaannya dengan harga yang bisa dijangkau oleh pembatik yang rata-rata berskala kecil dan menengah. Di skala distribusi, pemerintah harus bisa menjamin ketersediaan infrastruktur pasar yang mendukung terjadinya transaksi. Seperti yang kita tahu, sebagian transaksi batik sekarang masih dilakukan di pasar tradisional. Oleh karenanya, pemerintah harus bisa menciptakan pasar tradisional seperti pasar Klewer ini menjadi pasar yang tidak lagi kumuh dan semrawut. Menciptakan pasar yang nyaman, bisa diakses oleh pedagang maupun konsumen dengan leluasa. Pemerintah juga harus memfasilitasi para pembatik untuk melebarkan sayap pemasarannya hingga ke luar negeri, melalui pameran dan sebagainya.
Di sisi lain, pemerintah juga berharap pembatik benar-benar meningkatkan kualitas batik yang mereka produksi. Jika secara harga mungkin kita tidak akan bisa semurah produk China, untuk itu, kita harus bisa memastikan bahwa kualitas yang kita tawarkan juga sebanding dengan harga tersebut. Pemerintah juga berharap kepada pedagang untuk memberikan service yang memuaskan saat transaksi, memberikan informasi yang benar mengenai batik, sehingga setidaknya konsumen pun mulai terdidik soal batik.
Sedangkan kita sebagai konsumen, tak cukup mewujudkan cinta terhadap batik hanya dengan memakainya saja. Sebaiknya kita belajar juga mengenal batik Indonesia. Mempelajari kekhasannya masing-masing, bahan, corak dan motifnya, sehingga kita dapat dengan mudah mengenali mana yang batik Indonesia dan mana yang batik China. Kita harus belajar mengenai pembuatan batik yang membutuhkan ketekunan dan ketelatenan, sehingga bisa memahami mengapa harga batik tulis mahal. Kita sebaiknya juga mencari informasi mengenai kualitas batik, sehingga tak mudah tertipu,seperti yang kita ketahui belakangan ini banyak produk-produk asing yang memakai merk dalam negri. Terakhir, kita juga belajar untuk ikhlas, ngak apa-apa lah membeli batik lokal dengan harga yang lebih mahal, demi keberlanjutan usaha saudara-saudara kita.
Lalu bagaimanakah nasib produk- produk domestik lainnya?  Itu semua tergantung kita sebagai generasi – generasi muda untuk tetap membeli produk dalam negeri dan jangan mudah tertipu dengan produk yang asing itu semua demi kelanjutan nasib perekonomian negara kita yang tercinta ini.
Namun, Jika sekali saja kita salah langkah,  AFTA – CHINA justru akan membabat habis sektor industri dan mengancam bertambahnya angka pengangguran di dalam negeri. Konsekuensinya akan berimbas pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sebab, produk-produk yang dihasilkan oleh para buruh nasional tidak mampu bersaing di pasar. Ketidakmampuan dalam persaingan tersebut berdampak pada produk yang dibuat oleh para buruh dalam negeri mau tidak mau harus gulung tikar. Pemerintah juga harus ikut serta dengan meningkatkan kesejahteraan para buruh,  jika kita lihat dari sistem Pemerintah China mereka sangat konsen untuk mendukung tingkat kesejahteraan buruh sebagai faktor produksi industrinya. Pemerintah telah menyediakan sistem infrastruktur yang mendukung kenyamanan dan kesejahteraan bagi para buruh. Sistem transportasi publik yang gratis bagi buruh. Begitupun dengan biaya pendidikan yang diberlakukan secara gratis.
Dengan begitu, imbalan yang diterima oleh buruh China dan Indonesia secara kualitatif mempunyai nilai yang berbeda. Buruh Indonesia harus menghitung kembali gaji yang mereka peroleh  untuk berbagai macam pengeluaran. Sedangkan Buruh China hanya akan melakukan pengeluaran dari imbalan yang diterimanya untuk biaya konsumsi sehari-hari saja.

”Mari Bersama Kita Hadapi AFTA-CHINA”
          Pada januari 2010 seperti yang telah kita ketahui negara kita telah menandatangani perjanjian ASEAN Forum Trade Agreement - China, sementara persiapan di tingkat akar rumput masih minim.  jika dibatalkan, harga diri bangsa jadi taruhan.
AFTA - China sebagai bagian dari program pasar bebas yang tak bisa dihindarkan lagi. tidak ada altematif lain, kita harus menghadapinya sebagai tantangan. Tantangan untuk maju, tantangan untuk siap bersaing dengan negara mana pun termasuk China dan tantangan untuk menunjukkan kemandirian ekonomi kita.
Salah satu cara untuk mengantisipasinya, kita perlu terus menggelorakan semangat "aku cinta produk Indonesia". Kalau perlu dengan tekad bulat sehingga produk dalam negeri benar-benar lebih di utamakan oleh masyarakat luas di seluruh pelosok Tanah Air.
Dengan terus-menerus mendorong diri kita untuk tidak membeli barang-barang impor dan lebih diarahkan untuk menggunakan produk-produk dalam negeri, dampaknya pasti akan sangat luar biasa, Barang-barang asing bisa saja menjadi tak laku di pasaran, Dengan demikian, hal ini tentu akan bisa semakin meningkatkan kembali dunia usaha dan industri nasional kita.
Menghadapi China - AFTA, yang terpenting, bagaimana kita mengantisipasinya. Kalau negara-negara lain yang selevel kita, seperti Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Brunei Darussalam saja menyatakan siap, Indonesia juga harus siap, Kalau perlu kita harus menunjukkan kesiapan yang lebih.
Bangsa Indonesia punya harga diri jangan sampai gara-gara kita menolak China - AFTA lantas level kita direndahkan dan dianggap sekelas Myanmar, Kamboja, dan Laos yang akan menerapkan pasar bebas mulai 2015. Ingat, ketika sebuah kesepakatan telah ditandatangani maka harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Jangan sampai kita disebut sebagai bangsa pecundang, bangsa yang mudah menyerah karena mundur dari kesepakatan pasar- bebas dengan alasan belum siap. Melalui proses yang rumit mungkin bisa saja keinginan tersebut dipenuhi tapi jangan kaget kalau Indonesia nanti tak dianggap lagi dan tak diikut sertakan dalam forum-forum pergaulan internasional.
Jadi sebaiknya Kita harus banyak belajar dari negara berkembang salah satu nya seperti  korea selatan. Salah satu faktor yang menyebabkan Korea Selatan mempunyai perekonomian yang baik adalah rasa nasionalis yang tinggi, yaitu mencintai produk dalam negeri. Sebaiknya kita meniru perilaku tersebut. Dan yang terpenting adalah kesadaran dari dalam diri kita, bukannya dalam bentuk paksaan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki jumlah penduduk yang besar sehingga memiliki potensi yang cukup besar untuk mendongkrak perekonomian. Dengan tersedia SDM yang cukup besar dapat menunjang untuk menjadi negara Industri, seperti AS, Jepang, Jerman, dll. Hebatnya Korsel adalah, keterlambatan Negara nya bangkit daripada Indonesia tetapi perekonomiannya cukup jauh meninggalkan Indonesia. Dan mencintai produk dalam negeri adalah kunci utamanya untuk bangkit.
Walaupun di Indonesia, ajakan untuk mencintai produk dalam negeri sudah mulai gencar dipublikasikan. Tetapi, pengaruhnya tidak begitu terlihat, bahkan bisa dikatakan sama sekali tidak terlihat. Masyarakat masih belum mempercayai kualitas produk dalam negeri, sungguh sangat memprihatinkan. Imej bahwa produk dalam negeri mudah rusak dan kualitasnya biasa – biasa aja sudah hinggap di pikiran mereka. Apalagi beberapa produk luar negeri yang lebih murah, merupakan salah satu pemicu untuk tidak membeli produk dalam negeri. Bayangkan, jika semakin banyak penduduk Indonesia yang membeli produk luar negeri, sama saja kita mensejahterakan Negara lain. Dan lama kelamaan, perusahaan dalam negeri akan jatuh.
Alternatif lain dalam meningkatkan perekonomian Indonesia adalah dengan cara bekerja pada perusahaan dalam negeri. Walaupun rata-rata besarnya gaji tidak sebanyak perusahaan internasional, hal ini dapat menunjukkan rasa nasionalisme kita. Semakin banyak orang – orang Indonesia yang akan bekerja pada perusahaan dalam negeri akan meningkatkan peluang diperolehnya SDM yang berkualitas sehingga menunjang dalam peningkatan produk dalam negeri.
Tidak hanya itu, harus juga diimbangi dengan peningkatan pendidikan sehingga dihasilkan SDM yang benar – benar berkualitas karena produk dalam negeri seharusnya juga dibuat oleh penduduk Indonesia. Dan kita sebagai generasi muda Sudah saatnya berpikir untuk jangka panjang. Meningkatkan perekonomian dengan cara mencintai produk dalam negeri.
            Seperti yang dikatakan bapak Heppy Trenggono(koord. Beli Indonesia) ;
“Membeli Indonesia. Membeli produk bukan karena lebih baik, bukan karena lebih murah tapi karena buatan Indonesia.
Membela Indonesia. Sikap jelas dalam pembelaan. Membela martabat bangsa, membela kejayaan bangsa.
Menghidupkan Persaudaraan. Aku ada untuk kamu, kamu ada untuk aku, kita ada untuk tolong menolong”.
Saya sangat setuju dengan beliau, kata-katanya mampu memotivasi/mengerakkan hati saya untuk lebih mencintai produk indonesia.
             Ayo..!!! sama-sama kita ucapkan  “Aku Cinta Produk Indonesia” yaa..seperti itu.... kalau bisa di ulang kembali agar selalu ada dalam ingatan kita..
Mungkin kata-kata itu sudah tidak asing lagi di telinga kita Sebuah kalimat yang tidak henti-hentinya dilontarkan pihak pemerintah dan produsen dalam negeri yang menyiratkan ajakan untuk seluruh masyarakat agar membeli dan memakai produk-produk yang diproduksi oleh produsen domestik. Hal ini dikarenakan pembelian produk dalam negeri yang memiliki dampak luar biasa terhadap perekonomian bangsa. Pembelian produk dalam negeri juga menumbuhkembangkan jati diri bangsa Indonesia di mata internasional.
Seperti  yang  kita ketahui sekarang ini, pemerintah dan perusahaan domestik tengah berupaya agar masyarakat dapat membeli produk-produk dalam negeri. Salah satunya adalah dengan gencarnya iklan dan reklame yang dipasang di setiap media yang berisi pesan untuk selalu membeli dan memakai produk-produk dalam negeri sebagai cerminan rasa nasionalisme dan bela negara. Selain itu, pemerintah juga telah mengeluarkan instruksi tertulis dalam Inpres No.2 Th. 2009 Tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang dan Jasa. Hal ini juga telah dikuatkan dengan Inmenperdag yang mengharuskan setiap unsur pemerintah melakukan pengadaan barang dan jasa dengan produk dalam negeri.
Namun sebagian besar masyarakat tetap tidak menghiraukan imbauan tersebut. sementara industri lokal tidak dapat bersaing di negeri sendiri dan tertatih-tatih untuk tetap bertahan.
Dalam hal ini, konsumen yang rasional tidak akan memilih produk dalam negeri yang tidak memiliki daya saing hanya berdasarkan anjuran pemerintah. Anjuran menggunakan produk-produk dalam negeri memang bukan merupakan hal yang negatif. Namun, hal ini akan menjadi inefektif ketika pemerintah hanya bergerak sendirian. Sehingga dibutuhkan peran setiap elemen masyarakat dalam menjadikan produk-produk dalam negeri dapat diminati, salah satunya adalah pelaku bisnis lokal.
Christian Lovelock : mengemukakan bahwa konsumen tidak akan membeli sebuah produk yang telah dipersepsikan memiliki benefit yang tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan konsumen. Sama halnya dengan produk-produk dalam negeri yang secara umum telah dipersepsikan negatif dengan konsumen lokal. Disinilah peran pelaku bisnis lokal dalam menawarkan produknya ke pasar. Pelaku bisnis lokal tersebut memiliki pemikiran bahwa konsumen tidak akan terpengaruh hanya pada anjuran pemerintah, dan konsumen akan berfikir secara rasional di dalam melakukan pembelian. Produsen lokal juga harus mengerti bahwa produknya harus menyesuaikan dengan apa yang diinginkan konsumen.
Produk-produk yang ditawarkan harus memiliki  kualitas  yang sesuai atau lebih tinggi dengan biaya yang dikeluarkan konsumen. Dan produk-produk tersebut  harus memiliki competitive advantage, yaitu keunggulan produk tersebut yang tidak dimiliki produk lainnya.
Selain itu, pelaku bisnis lokal harus mengenali siapa konsumen yang sebenarnya. Perlu diketahui bahwa harga tidak selamanya menjadi faktor utama sebuah produk akan diminati oleh sejumlah kalangan. Banyak faktor lain selain harga yang dapat menentukan sebuah produk dapat dibeli, seperti halnya kualitas, kemasan, merek, kesesuaian, dan masih banyak lagi. Sehingga, faktor tingginya biaya produksi yang menaikkan harga masih dapat dikendalikan dengan penyesuaian terhadap apa yang diinginkan konsumen. Pada akhirnya, produk-produk dalam negeri  yang telah menyesuaikan dengan karakteristik konsumen, dapat meningkatkan daya saing di pasar domestik. Sehingga akhirnya  berdampak pada berubahnya pandangan awal negatif konsumen terhadap produk-produk dalam negeri ke arah positif, dengan begitu peran pemerintah dalam menganjurkan pembelian produk-produk dalam negeri dapat berpengaruh signifikan, karna pada saat itu juga produk-produk dalam negeri telah memiliki daya saing dengan produk-produk asing. Sehingga dalam jangka panjang terjadi sebuah kebiasaan baru bagi masyarakat Indonesia dalam memilih produk dalam negri/Indonesia-minded, dengan seiring berjalannya waktu perekonomian indonesia akan jaya. Amiiin.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar